Sabtu, 31 Mei 2014

Penyerahan LHP BPK-RI 2014



KABUPATEN KONAWE UTARA  MENDAPAT OPINI  WDP


Lima tahun selalu menjadi Kabupaten terakhir menyerahkan LKPD. Lima tahun LKPD Kabupaten Konawe Utara secara berturut-turut  mendapat opini disclaimer dari BPK. Lima tahun selalu menerima LHP secara sendiri. Lima tahun selalu ketinggalan dengan daerah lain di Provinsi Sulawesi Tenggara. Syukur Alhamdulillah TA. 2013 Kabupaten Konawe Utara merupakan Kabupaten pertama yang menyerahkan LKPD dan  pada tanggal 23 Juni 2014 telah bersama-sama dengan daerah lain menerima LHP dan mendapat opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP),  terlepas dari opini disclaimer serta sudah sejajar pula dengan daerah lain di Provinsi Sulawesi Tenggara. Opini tersebut diberikan karena Pemerintah Kabupaten Konawe Utara dalam menyajikan Laporan Keuangan telah sesuai dengan SAP. Wajar Dengan Pengecualian dalam artian masih ada yang belum sempurna, belum dapat memberikan keyakinan oleh karena sebagian asset tetap belum dapat diungkapkan secara rinci. Namun demikian kita kita tidak perlu berkecil hati karena tahun ini merupakan tahun bersejarah bagi Kabupaten Konawe Utara dalam memenahi dirinya sebagai Kabupaten baru. Satu catatan sejarah sejak Kabupaten Konawe Utara dimekarkan yang tidak dapat dilupakan. Sekian lama Konawe Utara berusaha untuk melepaskan diri dari opini disclaimer dimulai  tahun 2011  masa kepemimpinan Bupati Konawe Utara secara devinitif selalu saja gagal.

Kondisi tersebut tidak dapat dipungkiri karena belum membaiknya tata kelola keuangan. Dimana tahun-tahun sebelumnya status Kabupaten Konawe Utara masih dalam masa transisi kepemimpinan daerah. Keadaan ini sangat mempengaruhi tata kelola keuangan, mulai dari system penganggaran, penatausahaan, dan pelaporan keuangan. Buruknya pelaksanaan APBD menjadikan konawe utara selalu saja mendapat opini disclaimer. Tahun 2011 dan tahun 2012 adalah tahun proses pembenahan dari masa transisi. Masa tersebut masih sangat susah mencari benang merah dari masa transisi.

Perolehan opini WDP tersebut patut kita berikan apresiasi karena atas kerja keras dari seluruh penyelenggara pemerintahan, komitmen dari seluruh kepala SKPD serta kesungguhan dari aparat pengelola keuangan mulai dari unsur BPKAD dan Inspektorat dan para bendahara  Konawe Utara mendapat opini WDP . Keberhasilan ini semoga dapat menjadi landasan kita lebih maju lagi menuju WTP atau minimal dapat dipertahankan terus. Opini WDP ini janganlah membuat kita terlena karena masih banyak tugas-tugas yang harus segera dibenahi mulai dari sisi penganggaran, pelaksanaan anggaran, penatausahaan, dan pelaporan keuangan yang akuntabel. Semua ini memerlukan komitmen pimpinan mulai dari tingkat atas sampai tingkat bawah yang cukup, sebab jika kita tidak saya khawatir Konawe Utara kembali mendapat opini disclaimer. Semoga saja tidak, asalkan kita semua mampu menunjukan kinerja yang terbaik buat Kabupaten Konawe Utara yang tercinta.


Sabtu, 10 Mei 2014

Labengki Rasa Raja Ampat | Sultranews.com : Situs Berita Sulawesi Tenggara

Labengki Rasa Raja Ampat | Sultranews.com : Situs Berita Sulawesi Tenggara

Menyelami Surga Bawah Laut Labengki | Sultranews.com : Situs Berita Sulawesi Tenggara

Menyelami Surga Bawah Laut Labengki | Sultranews.com : Situs Berita Sulawesi Tenggara

Wawolesea, Sejuta Pesona di Konawe Utara





KONAWE UTARA – Hawa hangat bercampur bau belerang begitu terasa ketika kita berada di kawasan objek wisata Air Panas Wawolesea di Kabupaten Konawe Utara, Sulawesi Tenggara (Sultra). Kawasan wisata alam yang ditumbuhi pepohonan pinus itu berada kurang lebih 80 kilometer arah utara Kota Kendari.

Bila dengan mobil atau sepeda motor, Anda dapat menjangkau kawasan itu hanya dalam waktu kurang lebih 1,5 jam. Hawa hangat yang memancar dari air kolam yang terbentuk secara alamiah dengan ornamen cukup fantastik ini sangat menyegarkan tubuh saat kita diterpa tiupan angin yang berembus di kawasan seluas sekitar 100 hektare ini.Pesona alam ditawarkan kawasan berbukit-bukit kecil dan hampir menyatu dengan kawasam pantai Wawolesea itu. Hanya beberapa meter dari garis pantai, terdapat kolam air panas berukuran sekitar 500 meter persegi. Secara kasat mata, sulit dipercaya kalau dinding yang membendung air bening kolam dengan dasar putih itu terbentuk secara alamiah. Namun, ketika diamati secara cermat, kolam itu benar-benar terbentuk karena proses alam, tanpa sentuhan tangan manusia sedikit pun.
 
Sementara itu, altar di luar kolam terbentuk dari endapan kapur yang meluber dari bibir kolam karena terbawa aliran air yang mengalir sepanjang massa. Hanya kurang lebih 100 meter dari kolam air panas itu, terdapat tebing yang tidak terlalu tinggi. bagian atas tebing bak altar yang membentuk undakan seperti anak tangga.
 
Uniknya, di atas altar itu tumbuh pepohonan pinus dan sejumlah pohon jenis lain yang ukurannya hampir tidak bertambah dari waktu ke waktu. Bahkan pepohonan itu sangat mudah dicabut, tapi tidak mudah roboh oleh tiupan angin kencang.
 
Pada bagian dinding tebing yang curam itu, terdapat dinding-dinding karts (tebing kapur). Dari stalaktit yang terbentuk di bagian dinding karts, menetes air jernih yang bisa menghilangkan dahaga.
Sementara itu, di bagian dasar tebing yang juga tampak seperti altar, keluar air panas yang meluber sampai ke laut. Pada pertemuan aliran air panas dan air laut itu, banyak terdapat ikan belana, boronang, dan berbagai jenis ikan lainnya.
 
Di bagian lain kawasan itu terdapat bukit kecil yang tidak terlalu tinggi. Tepat di puncak bukit tumbuh dua pohon serume setinggi kurang lebih dua meter, yang sudah berumur puluhan tahun. Menurut legenda masyarakat setempat, bukit itu dahulu menjadi tempat Mokole Wawolesea melabuhkan jangkar petahunya. Mokole dalam bahasa daerah setempat berarti raja.
“Hampir setiap pengunjung yang baru pertama kali ke tempat ini, tidak percaya kalau kawasan ini tertata secara alamiah,” tutur Abdul Halik (52), tokoh masyarakat Wawolesea kepada SH di lokasi itu, Kamis (1/1) lalu. Menurut Halik yang juga Ketua BPD (Badan Permusyawaratan Desa) itu, bukit kecil tempat dua pohon serume berada, belakangan ini menjadi tempat ibadah warga transmigran asal Bali pada setiap hari besar keagamaan.
 
Berada di atas bukit, kita bisa merasakan hawa yang berembus dari kolam air panas dan tertiup angin sepoi-sepoi. Tatkala memandang ke laut lepas, tampak Pulau Labengki seperti roti. Di sebelah pulau tersebut membujur Pulau Bahulu, sebuah pulau yang masuk dalam kawasan yang dilindungi, yang mengandung bahan Tambang Nikel PT Aneka Tambang.
 
“Menurut cerita dari mulut ke mulut, kawasan ini terbentuk karena kutukan Tuhan terhadap Mokele yang menikahi putrinya sendiri,” jelas Halik. Meski begitu menakjubkan, jumlah pengunjung diakui masih sedikit sehingga kawasan itu sepi. Masyarakat sekitar baru mengunjungi kawasan itu pada hari-hari libur, itu pun dalam jumlah yang tidak banyak.
 

Burung Maleo
 
Di dalam kawasan itu terdapat hamparan pasir putih yang menjadi tempat binatang khas Sulawesi Tenggara, burung maleo bertelur. Di era 1990-an, dalam jarak pandang 50-100 meter, kita dapat menyaksikan dengan jelas ratusan ekor satwa endemik itu melepaskan telurnya lalu memendamnya ke dalam pasir.
 
Warga sekitar menjadikan telur burung langka itu sebagai sumber ekonomi keluarga. Selain dikonsumsi sendiri, baik dimasak langsung atau menjadi bahan campuran berbagai jenis kue, warga berburu telur maleo untuk dijual kepada pengunjung pantai atau pasar-pasar tradisional. Harga per butir mencapai Rp 25.000.
 
“Dulu kita dapat menunggui burung maleo bertelur di kawasan ini. Tapi sekarang sudah jarang kita jumpai karena terusik dengan aksi warga yang banyak memburu telur burung berukuran besar itu. Meski begitu, kalau kita beruntung, di kawasan itu saat ini kita masih bisa menemukan satu dua butir telur maleo,” tutur Halik.
 
Dalam keadaan sepi pengunjung, di kawasan itu masih sering tampak 5-10 ekor burung maleo bertelur. Seusai memendam telurnya ke dalam pasir, burung-burung itu terbang kembali ke hutan, hanya beberapa meter dari kawasan itu.


 

Pantai Taipa Wisata Primadona di Konawe Utara



 
KONAWE UTARA – Angin sepoi-sepoi begitu terasa segar menerpa tubuh ketika kita memasuki kawasan Pantai Tanjung Taipa, objek wisata primadona di Kabupaten Konawe Utara (Konut).
Hamparan pasir berwarna abu-abu yang diterjang hempasan ombak dan gelombang laut silih berganti menjadi pemandangan yang sangat menakjubkan ketika kita berada di kawasan pantai sepanjang kurang lebih tiga kilometer itu.
 
 Menjangkau kawasan pantai yang terletak kurang lebih 70 kilometer arah utara Kota Kendari, Sulawesi Tenggara itu dengan kendaraan roda dua atau roda empat, hanya butuh waktu 1-1,5 jam.
Di sebelah barat ujung pantai itu terdapat tebing yang curam. Di bibir tebing curam itu terdapat dinding-dinding karts (tebing kapur) yang cukup fantastis. Di atas tebing terdapat liang-liang gelap berbentuk gua (cave). Masyarakat setempat menyebut gua itu sebagai gua kelelawar karena memang dihuni oleh spesies kelelawar. Jika berada di mulut gua tersebut, kita akan mendengar dengan jelas suara-suara kelelawar dan satwa lain yang mendiami kawasan hutan di sekitarnya.Hanya beberapa meter dari gua kelelawar terdapat gua tengkorak. Disebut gua tengkorak karena di dalam gua itu terdapat banyak tengkorak dan tulang-belulang manusia. Diduga, gua itu menjadi tempat tinggal manusia purba masa lampau.
 
Ketika berada di atas tebing itu, kita dapat melihat dengan jelas aktivitas pengunjung pantai yang sedang mandi, berenang, dan bermain di sela-sela gelombang laut. Di sebelah timur ujung pantai itu terdapat hamparan pasir yang menjadi tempat binatang khas Sulawesi Tenggara, burung maleo bertelur. Di era 1990-an, dalam jarak pandang 50-100 meter di kawasan itu, kita dapat menyaksikan dengan jelas, puluhan bahkan ratusan ekor satwa endemik itu, melepas telurnya, lalu memendamkannya ke dalam pasir.
 
Warga sekitar yang bermukim tidak jauh dari kawasan pantai menjadikan telur burung langka itu sebagai sumber ekonomi keluarga. Selain dikonsumsi sendiri, baik dimasak langsung maupun menjadi bahan campuran berbagai jenis kue, warga juga memperjualbelikannya kepada pengunjung pantai atau pasar-pasar tradisional. Harga per butir saat ini mencapai Rp 25.000.
“Dulu, kami dapat menunggui burung maleo bertelur di kawasan pasir itu. Sekarang, sudah jarang dijumpai karena terusik dengan aksi warga yang banyak memburu telur burung berukuran besar itu,” tutur Abdul Malik, Camat Sawah, Kabupaten Konawe, dalam percakapan dengan SH belum lama ini.
Menurut Malik, dalam keadaan sepi pengunjung, di bagian timur kawasan pantai itu masih sering tampak 5-10 ekor burung maleo bertelur. Usai memendam telurnya ke dalam pasir, burung-burung itu terbang kembali ke kawasan hutan, masih di sekitar Tanjung Pantai Taipa.

Buah Mangga
Di bagian lain kawasan pantai itu banyak terdapat mangga. Menurut Abdul Malik, warga setempat menyebut pantai itu dengan nama Pantai Taipa karena keberadaan pohon mangga dalam jumlah banyak itu. “Pantai ini disebut Taipa karena di sini banyak ditumbuhi pohon mangga. Taipa dalam bahasa daerah di sini artinya mangga. Jadi, pantai ini disebut Taipa karena di sekitar sini banyak ditumbuhi pohon mangga,” jelasnya.
Menurut Malik, jika berkunjung di pantai itu saat musim mangga, pengunjung bisa menikmati manisnya aneka jenis mangga. Mulai dari mangga harum manis, golek, mangga macan, sampai mangga hiku.
 
Selain mangga, berkunjung ke Taipa juga tak masalah jika tidak menyiapkan makanan. Kita tinggal merogoh kocek Rp 10.000-an, lalu membeli nasi gogos (nasi dibungkus daun pisang lalu dibakar, makanan khas daerah setempat), yang banyak dijajakan warga di sekitar pantai. Lauknya, bisa menggunakan sate pokea (siput yang banyak terdapat di rawa-rawa), ikan bakar, atau membeli ikan segar dari nelayan yang baru pulang melaut, lalu membakarnya sendiri sesuai selera kita. Sambil duduk lesehan, pengunjung menikmati nasi gogos dengan sate pokea atau ikan bakar di atas tikar yang dibentangkan di hamparan pasir putih.
Jika beruntung, dalam jarak pandang sekitar 75-100 meter arah sebelah timur pantai itu, kita dapat menyaksikan satwa langka, burung maleo melepas telurnya, lalu memendamkannya ke dalam pasir.
Untuk berenang bebas menikmati segarnya air laut pantai, dapat menyewa ban dalam mobil yang banyak disiapkan warga. Hanya dengan uang Rp 5.000, kita menggunakan satu ban sepuasnya, sampai bosan.
Namun sebegitu kuat daya tarik yang ditawarkan pantai itu, wisatawan, baik domestik maupun mancanegara yang mengunjungi pantai itu masih sepi. Menurut Malik, kawasan itu baru ramai pada hari Minggu atau hari libur lainnya. Pengunjung umumnya datang di pantai itu menggelar pertemuan atau rapat di ruang bebas.
Malik menduga minimnya wisatawan mengunjugi objek wisata pantai Taipa karena fasilitas penunjang, seperti penginapan atau cottage, belum tersedia. Satu-satunya fasilitas yang ada, hanya sebuah gedung lengkap dengan kamar mandi dan ruang ganti pakaian milik Pemda Kabupaten Konawe Utara yang dikelola Dinas Pariwisata dan Seni Budaya setempat. Gedung itulah yang biasa disewa pengunjung untuk menggelar pertemuan atau rapat.
 
Sumber : http://www.potlot-adventure.com